Welcome

Selasa, 06 November 2012

Model-Model Kebijakan

Diposting oleh Lost Good Thing


Proses kebijakan dapat digambarkan  sebagai suatu sistem yaitu ada input, proses input dan output.  Input proses kebijakan adalah  isu kebijakan atau agenda pemerintah,  sedangkan proses kebijakan berupa  perumusan formulasi kebijakan dan  implementasi kebijakan. Isu dan formulasi  kebijakan merupakan proses politik yang  dilakukan elit politik dan kelompok-kelompok penekan. Sementara output dari  suatu proses kebijakan adalah kinerja  kebijakan.

Berkaitan dengan perumusan  kebijakan, Nugroho (2008) mengajukan  model yang dapat digunakan yakni: model  kelembagaan, model proses, model  kelompok, model elit, model rasional, model  inkremental, model permainan, model  pilihan publik, model sistem, model  demokratis, model strategis, dan model  deliberatif. Ketiga belas model tersebut  diuraikan secara ringkas sebagai berikut.  Model kelembagaan pada dasarnya  merupakan sebuah model yang  dikembangkan  oleh para pakar ilmu politik  dengan memandang kebijakan publik  sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Artinya,  tugas membuat kebijakan publik adalah  tugas pemerintah.

Model proses berasumsi bahwa  politik merupakan sebuah aktivitas sehingga  mempunyai proses. Artinya, kebijakan  publik merupakan proses politik dengan  rangkaian kegiatan: identifikasi  permasalahan, pengembangan program atau  kebijakan, dan evaluasi program atau  kebijakan. Model teori kelompok merupakan  abstraksi dari proses formulasi kebijakan yang di dalamnya terdapat beberapa  kelompok kepentingan yang berusaha  mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan  secara interaktif. Dengan demikian, model ini  mengandaikan kebijakan sebagai titik  keseimbangan dari suatu interaksi  kelompok-kelompok kepentingan.

Model elit berasumsi bahwa dalam  suatu masyarakat terdiri dari kelompok elit  yang memegang kekuasaan dan kelompok  massa yang tidak memiliki kekuasaan.  Rumusan kebijakan merupakan preferensi  politik dari para elit yang berkuasa sehingga  apabila terjadi bias formulasi dapat  dimaklumi sebagai kelemahan pendekatan  model tersebut.

Model rasional menganggap bahwa  kebijakan publik sebagai maximum social gain yang berarti pemerintah sebagai pembuat  kebijakan harus memilih kebijakan yang  memberikan manfaat optimum bagi  masyarakat. Dikatakan rasional karena  memperhitungkan biaya dan manfaat yang  dicapai. Oleh sebab itu, model ini lebih  menekankan pada aspek efisiensi atau aspek ekonomis.

Model inkrementalis pada dasarnya  bersifat  pragmatis atau praktis karena  memandang kebijakan publik sebagai  kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang telah  dilakukan oleh pemerintah di masa lampau,  dengan hanya melakukan perubahanperubahan seperlunya. 

Model demokratis menitik beratkan  pada pengambilan keputusan harus  sebanyak mungkin mengelaborasi suara dari  stakeholders. Artinya, model ini menghendaki  sebanyak mungkin pemilik hak demokrasi  dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Model strategis menggunakan  formula tuntutan perumusan strategi sebagai  basis perumusan kebijakan. Perencanaan  strategis lebih memfokuskan pada  pengidentifikasian dan pemecahan isu-isu.  Model ini merupakan salah satu derivat  manajemen dari model rasional karena  mengandaikan bahwa proses perumusan  kebijakan adalah proses rasional dengan  pembedaan bahwa model ini lebih fokus  pada rincian-rincian langkah manajemen.

Model teori permainan mengacu  pada gagasan, yakni; pertama, formulasi  kebijakan dalam situasi kompetisi yang  intensif. Kedua, para aktor berada dalam  situasi pilihan yang tidak independen ke  dependen melainkan situasi pilihan yang  sama-sama bebas (independen).  Oleh sebab  itu, konsep penting teori permainan adalah  strategi defensif, yaitu kebijakan yang paling  aman bukan yang paling optimum. Dengan  demikian, inti teori permainan adalah  mengakomodasi kenyataan paling riil Aminuddin Bakry, Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan publik dengan anggapan masyarakat tidak hidup  dalam ruang vakum sehingga lingkungan tidak pasif.

Model pilihan publik dalam membuat  formulasi kebijakan berakar dari teori  ekonomi pilihan publik yang berasumsi  manusia adalah  homo economicus yang  memiliki kepentingan-kepentingan yang  harus dipuaskan. Setiap kebijakan publik  yang dibuat pemerintah harus merupakan  pilihan publik yang menjadi pengguna.  Artinya, proses formulasi kebijakan  melibatkan publik melalui  kelompokkelompok kepentingan sehingga model ini  bersifat demokratis.

Model sistem dalam formulasi  kebijakan mengandaikan bahwa kebijakan  merupakan hasil atau output dari sistem  politik. Proses formulasi kebijakan  berdasarkan sistem politik mengandalkan  masukan dari tuntutan dan dukungan dari  kelompok-kelompok kepentingan.

Model deliberatif atau musyawarah  pada perumusan kebijakan menempatkan  peran pemerintah sebagai legalisator  daripada kehendak publik. Semenetara peran  analisis kebijakan sebagai prosesor proses  dialog publik agar menghasilkan keputusan  publik untuk dijadikan kebijakan publik.

Berkaitan dengan implementasi  kebijakan, banyak model yang dapat  digunakan dalam implementasi, diantaranya  model Van Meter dan Van Horn, model  Mazmanian dan Sabatier, model Hogwood  dan Gunn, model Goggin, model Grindle,  model Elmore, model Edward, model  Nakamura dan Smallwood, model jaringan,  model pemetaan.

Menurut Nugroho (2008) bahwa tidak  ada pilihan model seperti model-model di  atas yang terbaik dalam implementasi  kebijakan. Namun ada satu hal yang penting  yakni implementasi kebijakan haruslah  menampilkan keefektifan kebijakan itu  sendiri. Dalam konteks ini Nugroho  menganjurkan menggunakan matriks  ambiguitas-konflik yang dikembangkan  Matland, terdiri dari pendekatan-pendekatan  sebagai berikut. Implementasi secara  administratif adalah implementasi yang  dilakukan oleh dalam keseharian operasi  birokrasi pemerintahan. Kebijaksanaan di  sini mempunyai ambiguitas yang rendah dan  konflik yang rendah. Implementasi secara  politik adalah implementasi yang perlu  dipaksakan secara politik karena walaupun ambiguitas rendah tetapi tingkat konfliknya  tinggi. Implementasi secara eksperimen  dilakukan pada kebijakan yang ambguitas  tinggi, namun tingkat konfliknya rendah.  Sedangkan implementasi secara simbolik  dilakukan pada kebijakan yang mempunyai  ambiguitas tinggi dan konflik yang tinggi.



0 komentar:

Posting Komentar