Welcome

Rabu, 14 November 2012

Teknik Pembelajaran Kooperatif

Diposting oleh Lost Good Thing


Teknik pembelajaran kooperatif diantaranya: 

a. Mencari Pasangan 
  • Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep. 
  • Setiap siswa mendapat satu buah kartu. 
  • Setiap siswa mencari pasangan yang  mempunyai kartu yang cocok dengan  kartunya. 


b. Bertukar Pasangan 
  • Setiap siswa mendapatkan satu pasangan. 
  • Guru memberikan tugas dan siswa mengerjakan tugas dengan pasangannya 
  • Setelah selesai, setiap pasangan bergabung dengan pasangan lain. 
  • Kedua pasangan tersebut bertukar pasangan kemudian saling menanyakan dan  mengukuhkan jawaban. 
  • Temuan baru yang diperoleh dari pertukaran pasangan kemudian dibagikan kepada  pasangan semula. 
c. Kepala Bernomor 
  • Siswa dibagi dalam kelompok dan setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat  nomor. 
  • Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya. 
  • Kelompok  memutuskan jawaban yang dianggap paling benar dan memastikan  setiap anggota kelompok mengetahui jawaban ini. 
  • Guru memanggil salah satu nomor. Siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerja sama mereka. 


d. Keliling Kelompok 
  • Salah satu siswa dalam masing-masing kelompok memulai dengan memberikan  pandangan dan pemikirannya mengenai tugas yang sedang dikerjakan. 
  • Siswa berikutnya juga ikut memberikan kontribusinya. 
  • Demikian seterusnya. Giliran bicara bisa dilaksanakan menurut arah perputaran  jarum jam atau dari kiri ke kanan. 


e. Kancing Gemerincing 
  •  Guru menyipkan satu kotak kecil berisi kancing-kancing. 
  •  Setiap siswa dalam kelompok mendapatkan dua atau tiga buah kancing. 
  •  Setiap kali seorang siswa berbicara, dia harus menyerahkan salah satu kancingnya. 
  •  Jika kancingnya sudah habis, dia tidak boleh berbicara lagi sampai kancing semua rekannya habis. 


f. Dua Tinggal Dua Tamu 
  • Siswa bekerja sama dalam kelompok berempat. 
  • Setelah selesai, dua orang dari setiap kelompok meninggalkan kelompoknya dan  bertamu ke kelompok yang lain. 
  • Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan  informasi ke tamu mereka. 
  • Tamu mohon diri dan kembali ke kelompoknya kemudian melaporkan hasil  temuannya. 
  • Kelompok mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka

Karakteristik Pembelajaran Kooperatif

Diposting oleh Lost Good Thing


Karakteristik pembelajaran kooperatif diantaranya: 

a. Siswa bekerja dalam kelompok kooperatif untuk menguasai materi akademis. 

b. Anggota-anggota dalam kelompok diatur terdiri dari siswa yang berkemampuan  rendah, sedang, dan tinggi. 

c. Jika memungkinkan, masing-masing anggota  kelompok kooperatif berbeda suku,  budaya, dan jenis kelamin. 

d. Sistem penghargaan yang berorientasi kepada kelompok daripada individu. 


Selain itu, terdapat empat tahapan keterampilan kooperatif yang harus ada dalam  model pembelajaran kooperatif yaitu: 

a. Forming (pembentukan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk membentuk  kelompok dan membentuk sikap yang sesuai dengan norma. 

b. Functioniong (pengaturan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk mengatur  aktivitas kelompok dalam menyelesaikan  tugas dan membina hubungan kerja sama  diantara anggota kelompok. 

c. Formating (perumusan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk pembentukan  pemahaman yang lebih dalam terhadap bahan-bahan yang dipelajari, merangsang  penggunaan tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan menekankan penguasaan serta  pemahaman dari materi yang diberikan. 

d. Fermenting (penyerapan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk merangsang  pemahaman konsep sebelum pembelajaran,  konflik kognitif, mencari lebih banyak  informasi, dan mengkomunikasikan pemikiran untuk memperoleh kesimpulan

Pengertian Pembelajaran Kooperatif

Diposting oleh Lost Good Thing


Sistem pembelajaran gotong royong atau  cooperative learning merupakan sistem  pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama  siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Pembelajaran kooperatif dikenal dengan  pembelajaran secara berkelompok. Tetapi belajar kooperatif lebih dari sekedar belajar  kelompok atau kerja kelompok karena dalam belajar kooperatif ada struktur dorongan atau  tugas yang bersifat kooperatif sehingga memungkinkan terjadinya interaksi secara terbuka  dan hubungan yang bersifat interdepedensi efektif diantara anggota kelompok (Sugandi, 2002:  14). Hubungan kerja seperti itu memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa  yang dapat dilakukan siswa untuk mencapai keberhasilan belajar berdasarkan kemampuan  dirinya secara individu dan andil dari anggota kelompok lain selama belajar bersama dalam kelompok. 

Untuk mencapai hasil yang maksimal, maka harus diterapkan lima unsur model  pembelajaran gotong royong, yaitu:

a. Saling ketergantungan positif.
b. Tanggung jawab perseorangan.
c. Tatap muka.
d. Komunikasi antar anggota.
e. Evaluasi proses kelompok




Selasa, 06 November 2012

PENDIDIKAN SEBAGAI PEMBENTUK WATAK BANGSA

Diposting oleh Lost Good Thing


Manusia adalah mahluk sosial yang tidak mungkin hidup sendirian tanpa
bantuan orang/pihak lain. Agar manusia dapat  hidup bersama dalam kerukunan
diperlukan suatu proses yang dinamakan pendidikan. Pendidikan pada dasarnya
bertujuan untuk mengarahkan manusia atau masyarakat agar dapat melanjutkan
kehidupan ke generasi berikutnya secara berkelanjutan.

Pada proses pendidikan harus diusahakan agar generasi yang akan datang
dapat melanjutkan kehidupan tanpa harus melakukan kesalahan yang pernah
dilakukan oleh generasi sebelumnya, melakukan kegiatan yang bersifat lebih
efisien, lebih efektif, dan berusaha menemukan cara/teknik yang lebih sederhana
dalam menunjang kehidupan di masa mendatang. Hal ini menyebabkan proses
pendidikan akan menghasilkan percepatan dan penyederhanaan agar dalam hidup
dapat mencapai tujuan yang telah disepakati sebelumnya. Inti dari proses
pendidikan adalah pembentukan watak anak didik. Watak bangsa yang akan kita
bentuk harus sesuai dengan tujuan nasional. 6

Memang tiap suku, tiap daerah, tiap wilayah, dan tiap golongan memiliki
karakter yang berbeda. Hal ini tidak lepas dari pengaruh kondisi fisik lahan dari
daerah bersangkutan. Misalnya karakter masyarakat pantai akan berbeda dengan
karakter masyarakat pegunungan, begitu pula karakter masyarakat pulau kecil
berbeda dengan karakter masyarakat pada pulau yang besar dan luas. Karakter
masyarakat beriklim kering akan berbeda dengan karakter masyarakat yang
beriklim lembab dan basah. Perbedaan karakter tersebut bukan sebagai pemisah
dan pembeda, melainkan sebagai pemersatu dan perekat persaudaraan. Bukankah
tiap orang memiliki hak dan kedudukan yang sama di muka bumi ini, dan tiap
orang itu bersaudara ? Mengapa kita harus bertengkar dan berpecah belah ?
Kita sudah merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945, kesepakatan ini harus
menjadi acuan dalam pembentukan watak masyarakat Indonesia. Pembentukan
watak bangsa ini hanya bisa dilakukan melalui proses pendidikan. Oleh karena itu
tiap komponen pendidik dan masyarakat harus mendukung dan mengacu pada
karakter bangsa Indonesia yang sopan, ramah-tamah, gotong-royong, damai, dan
bersaudara dengan siapapun. Bukankah kita  sudah bertekad bahwa jangan ada
penjajahan dan penindasan di muka bumi ini ? (Anonim, 2001). Mari komitmen
ini kita wujudkan dan kita laksanakan dalam setiap langkah dan setiap denyut
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Untuk menuju ke arah tersebut di  atas, maka diperlukan suatu strategi
pengajaran yang baik yang dikemas dalam bentuk kurikulum yang menunjang,
pengajar (guru) yang profesional pada bidangnya, pemimpin yang menunjang dan
memegang teguh amanat yang telah digariskan, serta masyarakat dan orang tua
anak didik yang selalu mengontrol, mengingatkan, dan ikut mengarahkan anak
didik agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Kurikulum yang menunjang  minimal harus memuat mata ajar yang
mengandung unsur : pembentukan keimanan dan ketaqwaan pada Tuhan Yang
Maha Esa; pembentukan wawasan kebangsaan yang kuat; pembentukan
kecerdasan dan daya nalar yang memadai; memahami dan mampu memanfaatkan
serta memelihara keberlanjutan sumberdaya alam; pembinaan keterampilan dan 7
penguasan teknologi; pembinaan  bahasa dan seni sebagai alat komunikasi serta
budi pekerti yang selalu melekat sebagai masyarakat Indonesia yang dihormati
dan disegani.

Pengajar (guru) yang profesional dalam bidangnya adalah guru yang dididik
pada lembaga pendidikan tinggi keguruan dan atau telah mendapat sertifikasi dari
organasasi profesi keguruan, dan tugas yang diemban harus sesuai dengan latar
belakang pendidikannya. Tugas guru bukan hanya mengajar di dalam kelas
melainkan ikut serta dalam memantau, mengawasi, dan memberi teladan kepada
siswa selama di sekolah maupun di luas sekolah.
Pimpinan yang menunjang adalah pimpinan yang sesuai dengan jenjang dan
kompetensi yang dipersyaratkan, harus memahami persoalan pendidikan, dengan
dibatasi oleh masa jabatan dan telah diuji dan mendapat sertifikasi dari orgainsasi
profesi keguruan.

Masyarakat dan orang tua siswa yang menunjang adalah masyarakat yang ikut
mendukung pembentukan watak siswa ke arah yang lebih baik. Masyarakat atau
orang tua mempunyai hak untuk memantau dan mendapat laporan tentang
perkembangan anak selama mengikuti pendidikan

PENDIDIKAN SEBAGAI PEMERSATU BANGSA

Diposting oleh Lost Good Thing



Pada dasarnya manusia sebagai bagian dari komponen alam memiliki  kebebasan untuk mengatur, menata, dan tidak mau diatur. Oleh karena itu  diperlukan suatu kesadaran untuk memahami secara bersama-sama bahwa hidup  bermasyarakat harus memiliki tujuan yang sama secara kolektif dan didukung  bersama agar tujuan tersebut dapat terwujud.

Dalam proses pendidikan cukup banyak komponen yang terlibat, mulai dari :  siswa sebagai peserta didik;  guru sebagai pembina dan pembentuk kepribadian  serta kemandirian peserta didik; pimpinan sekolah dan lembaga terkait sebagai  penentu dan pembuat kebijakan yang dampaknya akan sangat terasa pada proses 
pendidikan bagi peserta didik;  orang tua siswa yang mengharapkan hasil  maksimum dari sekolah pada pembentukan perilaku dan keterampilan anak yang  dititipkan di sekolah, masyarakat yang melihat, memantau, dan mewarnai anak  didik di luar sekolah. Kelima komponen tersebut harus saling mendukung dan  saling mengisi agar proses pendidikan dapat berjalan dengan baik sehingga  memiliki kualitas yang sesuai untuk mengisi pembangunan di masa mendatang.

Kebersamaan dan persatuan akan muncul apabila ada  kesamaan tujuan,  kesamaan emosional dan kesaman kebutuhan. Oleh karena itu untuk menciptakan  suatu kondisi yang bersifat kebersamaan dalam persatuan dan kesatuan harus  dibangun oleh tujuan yang sama dan bermanfaat yang merupakan  kebutuhan  bersama. Apabila tujuan tersebut sudah menjadi kebutuhan maka semua  komponen masyarakat akan bersatu padu untuk mengusung dan mensukseskan  tujuan tersebut. Hal yang menjadi persoalaan saat ini adalah bagaimana cara membangun tujuan yang merupakan kebutuhan masyarakat Indonesia secara  keseluruhan, sehingga dengan tujuan tersebut Indonesia menjadi negara yang kuat  dan jaya dimasa kini dan masa yang akan datang.

Otonomi daerah adalah penjelamaan dari ketidakpuasan pada sistem  sentralistik yang mengakibatkan daerah tidak berkembang sesuai dengan potensi  dan kemampuannya. Apabila tidak diwaspadai akan melupakan tujuan nasional  yang telah dibangun bersama yaitu masyarakat yang bersatu dalam  Negara  Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tujuan tersebut harus menjadi dasar  pembinaan pada generasi muda  terutama melalui pendidikan agar tidak  meyimpang dan menjadi sasaran pembangunan sehingga semua komponen bangsa  memiliki kesadasaran kolektif untuk mempertahankan dan menjaga martabat  bangsa.

Oleh karena itu dalam proses pendidikan pada perumusan pembelajaran dan  pencapaian pengajaran di kelas atau sekolah harus dikaitkan dan ditekankan pada  target atau pencapaian tujuan pembangunan nasional. Muatan lokal (mulok)  sebagai bahan pengayaan dan penyiapan anak didik untuk mengenal daerahnya  masing-masing harus diarahkan pada bagaimana cara memaknai dan memberi  nilai tambah dari muatan lokal yang ada untuk menunjang kepentingan dan tujuan  nasional. Karena apabila tidak diarahkan pada kepentingan nasional,  dikhawatirkan akan muncul arogansi daerah sebagai sumber atau pemicu  munculnya sentimen antar daerah. 

Perbedaan yang ada di muka bumi adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa yang  harus dikelola dan dimanfaatkan seefisien dan seefektif mungkin untuk  kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Perbedaan potensi tersebut jangan  dimaknai sebagai pembeda dan pemisah melainkan sebagai alat pemersatu dan  media penyadaran bahwa kita harus saling bantu dan bahu-membahu dalam  membangun bangsa. Karena sekecil apapun kelompok masyarakat atau potensi  daerah akan bermanfaat dan dibutuhkan oleh kelompok atau daerah lainnya.  Begitu pula sebesar apapun kelompok masyarakat atau pun potensi daerah tetap  akan membutuhkan kelompok atau daerah yang lainnya (Ife, 1995). Hal ini  menunjukkan bahwa apapun status dan potensi masyarakat akan saling  membutuhkan dan saling memberi manfaat sehingga perlu dibentuk suatu tujuan  yang disepakati bersama sebagai pengikat kebersamaan dalam hidup yang damai  dan sejahtera.

Perumusan tujuan yang akan dicapai dalam rangka persatuan dan kesatuan,  harus bersifat universal dan menyeluruh dalam keseimbangan, berkeadilan, dan  pemerataan tanpa merugikan atau memojokkan kelompok/golongan tertentu dan  sifatnya tidak sementara. Tujuan tersebut harus diimplementasikan oleh para  pendidik dan komponen yang mendukungnya dalam bertingkah laku dan bersikap  yang tertuang dalam program pengajaran di kelas maupun di luar kelas. Sejarah telah mengingatkan pada kita bahwa, banyak raja (kerajaan) atau  kelompok di Nusantara yang kuat dan makmur, yang berorientasi pada kekuasaan  dan wilayahnya saja tanpa melibatkan dan bekerja sama dengan raja atau  kelompok dan wilayah yang lainnya akan kandas oleh pengaruh asing sehingga  akhirnya tunduk dan dikuasai oleh penjajah. Hal ini menunjukkan bahwa betapa  pentingnya kebersamaan yang diikat dalam suatu tujuan yang sama demi  kemakmuran dan kesejahteraan bersama secara damai dan saling menghormati.

Evaluasi Kebijakan

Diposting oleh Lost Good Thing


Kebijakan yang telah dirumuskan dan  dimplementasikan, perlu di evaluasi. Ruang  lingkup evaluasi kebijakan meliputi evaluasi  perumusan, implementasi, lingkungan dan  evaluasi kinerja. 

Evaluasi perumusan  formulasi kebijakan berkenaan dengan yaitu: 

(1) penggunaan pendekatan yang sesuai dengan masalah yang hendak diselesaikan, 

(2) mengikuti prosedur yang diterima secara bersama

(3) pendayagunaansumberdaya yang optimal. 


Teknik yang  dipakai dalam evaluasi ini adalah modelmodel perumusan formulasi kebijakan  seperti yang telah diuraikan di atas. Evaluasi implementasi kebijakan  dimaksudkan untuk melihat kesesuaian  antara jenis kebijakan yang harus  diimplementasikan dan metode  implementasi yang tepat.  Untuk maksud  tersebut maka evaluasi implementasi  kebijakan dapat menggunakan panduan  matriks ambiguitas-konflik. Sebagai contoh,  untuk konteks Indonesia, implementasi  kebijakan kewargaan misalnya kartu penduduk dapat dilakukan dengan metode atau pendekatan administratif. 

Implementasi  kebijakan biaya pendidikan dapat  dilaksanakan dengan menggunakan  pendekatan politik. Kebijakan  penanggulangan kemiskinan lebih tepat diimplementasikan metode eksperimen.  Kebijakan gender lebih efektif  diimplementasikan dengan metode simbolik. Evaluasi lingkungan kebijakan publik  terbagi dalam dua fokus yaitu evaluasi  lingkungan formulasi kebijakan dan evaluasi  lingkungan implementasi kebijakan.  lingkungan formulasi kebijakan  menghasilkan sebuah deskripsi bagaimana  lingkungan kebijakan dibuat dan kenapa  kebijakan seperti itu. Sedangkan evaluasi  lingkungan implementasi kebijakan  berkenaan dengan faktor-faktor lingkungan  apa saja yang membuat kebijakan gagal atau berhasil diimplementasikan.

Berkaitan dengan evaluasi kinerja  kebijakan dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran pencapaian suatu kebijakan  dibandingkan dengan target atau rencana  pencapaian yang diharapkan. Metode yang  dapat dipergunakan dalam evaluasi ini  adalah analisis kesenjangan.

Model-Model Kebijakan

Diposting oleh Lost Good Thing


Proses kebijakan dapat digambarkan  sebagai suatu sistem yaitu ada input, proses input dan output.  Input proses kebijakan adalah  isu kebijakan atau agenda pemerintah,  sedangkan proses kebijakan berupa  perumusan formulasi kebijakan dan  implementasi kebijakan. Isu dan formulasi  kebijakan merupakan proses politik yang  dilakukan elit politik dan kelompok-kelompok penekan. Sementara output dari  suatu proses kebijakan adalah kinerja  kebijakan.

Berkaitan dengan perumusan  kebijakan, Nugroho (2008) mengajukan  model yang dapat digunakan yakni: model  kelembagaan, model proses, model  kelompok, model elit, model rasional, model  inkremental, model permainan, model  pilihan publik, model sistem, model  demokratis, model strategis, dan model  deliberatif. Ketiga belas model tersebut  diuraikan secara ringkas sebagai berikut.  Model kelembagaan pada dasarnya  merupakan sebuah model yang  dikembangkan  oleh para pakar ilmu politik  dengan memandang kebijakan publik  sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah. Artinya,  tugas membuat kebijakan publik adalah  tugas pemerintah.

Model proses berasumsi bahwa  politik merupakan sebuah aktivitas sehingga  mempunyai proses. Artinya, kebijakan  publik merupakan proses politik dengan  rangkaian kegiatan: identifikasi  permasalahan, pengembangan program atau  kebijakan, dan evaluasi program atau  kebijakan. Model teori kelompok merupakan  abstraksi dari proses formulasi kebijakan yang di dalamnya terdapat beberapa  kelompok kepentingan yang berusaha  mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan  secara interaktif. Dengan demikian, model ini  mengandaikan kebijakan sebagai titik  keseimbangan dari suatu interaksi  kelompok-kelompok kepentingan.

Model elit berasumsi bahwa dalam  suatu masyarakat terdiri dari kelompok elit  yang memegang kekuasaan dan kelompok  massa yang tidak memiliki kekuasaan.  Rumusan kebijakan merupakan preferensi  politik dari para elit yang berkuasa sehingga  apabila terjadi bias formulasi dapat  dimaklumi sebagai kelemahan pendekatan  model tersebut.

Model rasional menganggap bahwa  kebijakan publik sebagai maximum social gain yang berarti pemerintah sebagai pembuat  kebijakan harus memilih kebijakan yang  memberikan manfaat optimum bagi  masyarakat. Dikatakan rasional karena  memperhitungkan biaya dan manfaat yang  dicapai. Oleh sebab itu, model ini lebih  menekankan pada aspek efisiensi atau aspek ekonomis.

Model inkrementalis pada dasarnya  bersifat  pragmatis atau praktis karena  memandang kebijakan publik sebagai  kelanjutan dari kegiatan-kegiatan yang telah  dilakukan oleh pemerintah di masa lampau,  dengan hanya melakukan perubahanperubahan seperlunya. 

Model demokratis menitik beratkan  pada pengambilan keputusan harus  sebanyak mungkin mengelaborasi suara dari  stakeholders. Artinya, model ini menghendaki  sebanyak mungkin pemilik hak demokrasi  dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Model strategis menggunakan  formula tuntutan perumusan strategi sebagai  basis perumusan kebijakan. Perencanaan  strategis lebih memfokuskan pada  pengidentifikasian dan pemecahan isu-isu.  Model ini merupakan salah satu derivat  manajemen dari model rasional karena  mengandaikan bahwa proses perumusan  kebijakan adalah proses rasional dengan  pembedaan bahwa model ini lebih fokus  pada rincian-rincian langkah manajemen.

Model teori permainan mengacu  pada gagasan, yakni; pertama, formulasi  kebijakan dalam situasi kompetisi yang  intensif. Kedua, para aktor berada dalam  situasi pilihan yang tidak independen ke  dependen melainkan situasi pilihan yang  sama-sama bebas (independen).  Oleh sebab  itu, konsep penting teori permainan adalah  strategi defensif, yaitu kebijakan yang paling  aman bukan yang paling optimum. Dengan  demikian, inti teori permainan adalah  mengakomodasi kenyataan paling riil Aminuddin Bakry, Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan publik dengan anggapan masyarakat tidak hidup  dalam ruang vakum sehingga lingkungan tidak pasif.

Model pilihan publik dalam membuat  formulasi kebijakan berakar dari teori  ekonomi pilihan publik yang berasumsi  manusia adalah  homo economicus yang  memiliki kepentingan-kepentingan yang  harus dipuaskan. Setiap kebijakan publik  yang dibuat pemerintah harus merupakan  pilihan publik yang menjadi pengguna.  Artinya, proses formulasi kebijakan  melibatkan publik melalui  kelompokkelompok kepentingan sehingga model ini  bersifat demokratis.

Model sistem dalam formulasi  kebijakan mengandaikan bahwa kebijakan  merupakan hasil atau output dari sistem  politik. Proses formulasi kebijakan  berdasarkan sistem politik mengandalkan  masukan dari tuntutan dan dukungan dari  kelompok-kelompok kepentingan.

Model deliberatif atau musyawarah  pada perumusan kebijakan menempatkan  peran pemerintah sebagai legalisator  daripada kehendak publik. Semenetara peran  analisis kebijakan sebagai prosesor proses  dialog publik agar menghasilkan keputusan  publik untuk dijadikan kebijakan publik.

Berkaitan dengan implementasi  kebijakan, banyak model yang dapat  digunakan dalam implementasi, diantaranya  model Van Meter dan Van Horn, model  Mazmanian dan Sabatier, model Hogwood  dan Gunn, model Goggin, model Grindle,  model Elmore, model Edward, model  Nakamura dan Smallwood, model jaringan,  model pemetaan.

Menurut Nugroho (2008) bahwa tidak  ada pilihan model seperti model-model di  atas yang terbaik dalam implementasi  kebijakan. Namun ada satu hal yang penting  yakni implementasi kebijakan haruslah  menampilkan keefektifan kebijakan itu  sendiri. Dalam konteks ini Nugroho  menganjurkan menggunakan matriks  ambiguitas-konflik yang dikembangkan  Matland, terdiri dari pendekatan-pendekatan  sebagai berikut. Implementasi secara  administratif adalah implementasi yang  dilakukan oleh dalam keseharian operasi  birokrasi pemerintahan. Kebijaksanaan di  sini mempunyai ambiguitas yang rendah dan  konflik yang rendah. Implementasi secara  politik adalah implementasi yang perlu  dipaksakan secara politik karena walaupun ambiguitas rendah tetapi tingkat konfliknya  tinggi. Implementasi secara eksperimen  dilakukan pada kebijakan yang ambguitas  tinggi, namun tingkat konfliknya rendah.  Sedangkan implementasi secara simbolik  dilakukan pada kebijakan yang mempunyai  ambiguitas tinggi dan konflik yang tinggi.





Untuk menjawab permasalahan  kebijakan pendidikan  bagian dari kebijakan  publik atau kebijakan pendidikan sebagai  kebijakan  publik yang telah dikemukakan  sebelumnya,  akan dimulai dengan teladan   penerapan kebijakan pendidikan di  Kabupaten Jembrana. Namun sebelum kasus  ini dijelaskan, terlebih dahulu akan  disampaikan proses kebijakan publik sebagai  pengantar teoetis memahami perumusan,  implementasi dan evaluasi kebijakan yang  terjadi di Jembrana. Setelah kasus Jembrana  dipaparkan, kemudian ditindaklanjuti  analisis dengan pendekatan filsafat moral  dari Tilaar. Untuk memperluas perspektif 
pemahaman tentang kebijakan pendidikan  dan kebijakan publik maka digunakan pula  pendekatan  teori  ekonomi politik pendidikan. 

Pendekatan ekonomi politik berbeda  dengan pendekatan filsafat moral, kalau  pendekatan filsafat moral lebih fokus pada  hakikat manusia sebagai suatu tujuan yang  hendak dicapai oleh kegiatan pendidikan  dan politik, maka pendekatan ekonomi  politik lebih tertuju pada hakikat pendidikan  sebagai barang atau jasa yang dikonsumsi  untuk memuaskan konsumernya. Oleh  karena itu pendekatan ekonomi politik  pendidikan masih belum lumrah digunakan  (Rosidi, 2008), maka model ini menjadi  sebuah piranti analisis kritik kebijakan  pendidikan yang bermanfaat untuk mencari  tahu posisi kedudukan kebijakan pendidikan  dan kebijakan publik.

PERMASALAHAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Diposting oleh Lost Good Thing


Persoalan penting yang perlu disorot  dalam makalah ini,  apakah kebijakan  pendidikan bagian kebijakan publik atau  kebijakan pendidikan sebagai kebijakan  publik. Permasalahan tersebut menjadi  penting karena berkaitan dengan  memosisikan pendidikan dalam konteks  sektor-sektor publik yang harus dikelola 
secara serius dan besarnya tingkat urgensi  bagi  pemerintah di dalam  menetapkan  prioritas program-program pembangunan. 

Untuk tidak bias dalam pembahasan permasalahan di atas, perumusan kebijakan pendidikan  dan kebijakan publik  menjadi  mendesak ditakrifkan.  Definisi kebijakan  publik telah dikemukakan pada bagian  terdahulu, sementara pengertian kebijakan  pendidikan berangkat dari pemikiran  Tilaar  dan Nugroho (2008)  yang  mengungkapkan  bahwa kebijakan pendidikan tidak dapat  dilepaskan dengan hakikat pendidikan  dalam proses memanusiakan anak manusia  menjadi manusia merdeka.  Manusia  meredeka adalah manusia yang kreatif yang  terwujud di dalam budayanya. Manusia  dibesarkan di dalam habitusnya yang  membudaya, dia hidup di dalam budayanya  dan dia menciptakan atau merekonstruksi  budayanya itu sendiri. Konstruksi pemikiran di atas  bermakna bahwa  pendidikan  adalah proses  pemberdayaan sehingga peserta didik  menjadi mandiri, kreatif dan bertanggung  jawab atas eksistensinya. Tilaar dan Nugroho m(2008) mengelaborasi pendidikan dalam  pandangan Ki Hajar Dewantara, Romo  Mangun dan Paulo Freire. 

Bagi Ki Hajar  Dewantara, pendidikan sebagai suatu proses  pemberdayaan untuk menumbuhkembangkan kemandirian manusia karena  pada dasarnya manusia merupakan mahluk  yang berdiri sendiri dan bertanggung jawab  atas eksistensi dirinya, tidak seorangpun  berhak merampas kemandirian orang lain,  dan hak menjadi diri sendiri menunjukkan  identitas seseorang yang diwujudkan melalui  interaksi dengan orang lain. Hal ini juga  senada dengan pandangan  Romo Mangun  yang memandang manusia sebagai mahluk  kreatif yang dianugerahi kebebasan berpikir   agar dapat menentukan dirinya sendiri.  Untuk mengeksplorasi kemampuan yang  diberikan sang pencipta tersebut, sehingga  membuahkan kreasi-kreasi baru, dibutuhkan 
suasana kebebasan yang dapat  menjamin  kemerdekaan berdialog dengan dirinya  sendiri, sesama peserta didik, dengan alam  dan dengan pendidiknya. 

Romo Mangun  tidak percata bahwa proses pendidikan yang  bersifat otoriter yang membatasi kebebasan  peserta didik dapat mengembangkan kreatifitas peserta didik. Ketidak percayaan  Romo Mangun tersebut, sejalan dengan  Paulo Freire yang melihat proses Aminuddin Bakry, Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan publik memanusiakan manusia lewat dialog dan  interaksi dengan sesama manusia dalam  suasana kemerdekaan dan kebebasan.

Istilah kemerdekaan dan kebebasan  tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan  dengan konsep kekuasaan. Dengan  demikian, pendidikan tidak dapat lepas dari  kekuasaan yang memberikan kebebasan  untuk berekspresi, mengeksplorasi pontensi  dasarnya dan berinteraksi sesama manusia  sehingga jati dirinya sebagai manusia dewasa  dan sempurna dapat terwujud. Apabila  diinginkan suatu masyarakat demokrasi  maka yang pertama-tama dilakukan adalah  mendemokratisasikan pendidikan. Hal ini  berarti pendidikan bukanlah suatu yang  mencekoki peserta didik  dengan ilmu  pengetahuan tetapi ilmu pengetahuan itu  dimiliki karena pengalaman peserta didik  dalam suasana kebebasan dan kemerdekaan  (Tilaar, 2003 dan Tilaar, 2005). 

Uraian di atas memperlihatkan  keterkaitan yang erat antara pandangan  tentang manusia dengan proses pendidikan.  Proses memanusia untuk mewujudkan  kemerdekaannya diperlukan lingkungan  yang kondusif bagi perkembangan pribadi  yang merdeka, sehinga proses pendidikan  merupakan kesatuan antara teori dan 
praktek pendidikan atau disebut praksis  pendidikan (Tilaar dan Nugroho, 2008).  Artinya, visi dan misi pendidikan  merupakan penjabaran dari pandangan  tentang hakikat manusia atau filsafat  manusia yang menganggap  manusia sebagai  mahluk pribadi dan sosial sekaligus. Dengan  demikian, perumusan visi dan misi  pendidikan sangat tergantung pada aspekaspek politik, sosial, ekonomi dan budaya  dimana dia hidup. Oleh karena pendidikan  merupakan suatu pengetahuan praksis maka  analisis kebijakan pendidikan merupakan  salah satu input penting dalam perumusan  visi dan misi pendidikan.

Dalam konteks inilah kebijakan  pendidikan harus di pandang berdasarkan  pendidikan sebagai suatu pengetahuan  praksis dimana visi dan misi pendidikan  mengakomodasi esensi filsafat manusia,  filsafat politik, sosial, ekonomi dan budaya.  Dengan demikian, kebijakan pendidikan  merupakan pengejewantahan dari visi dan  misi pendidikan bernuansa  esensi  manusia  berdasarkan filsafat manusia dan politik  dalam konteks situasi politik, sosial,  ekonomi, dan budaya masyarakatnya.


Rieger (2008) menyatakan bahwa ada 4 fokus kebutuhan  utama yang mendorong kerjasama antara lembaga pendidikan dan industri yang meliputi.

1. Berlandasakan kebutuhan   siswa.Fokus pada peningkatan kompetensi siswa terkait kebutuhan SDM di industri  dan untuk program pemagangan dan penempatan kerja setelah lulus.

2. Berlandaskan kebutuhan  program. Mengembangkan program atau kerjasama untuk mendidik/mencetak para  peneliti atapun mendirikan pusat peneltian secara bersama.

3. Berlandaskan kebutuhan  penelitian Berlandaskan pada kebutuhan penelitian untuk memecahkan  berbagai kasus  yang terjadi di lingkungan industri dan melakukan diseminasi hasilnya  
dengan masyarakat luas.

4. Berlandaskan kebutuhan relasi Menjalin kerjasama dengan berbagai perusahaan pada semua tingkatan untuk  memperoleh dana sponsorship guna membiayai kegiatan penelitian.


a. Training model

Aktivitas partnership yang mengembangkan kapabilitas dari personel  lembaga yang berpartisipasi, yang didahului dengan kualifikasi  personel pada bidang yang relevan dengan kebutuhan institusi atau  clients yang berpartisipasi.

b. Twinning model

Aktivitas  partnership yang mengimplementasikan program khusus  yang disetujui oleh institusi yang berpartisipasi untuk meningkatkan  efisiensi dan efektifitas program inovatif, agar terjadi peningkatan dan 
akselerasi dampak suatu kegiatan. Kebutuhan bersama antara dua lembaga adalah faktor yang mendorong kegiatan, sehingga diperoleh  keuntungan simbiose antar pihak yang bersekutu.

c. Research model

Aktivitas partnership untuk melakukan penelitian dengan identifikasi  topik-topik penelitian yang bersumber dari problem  – problem yang  berkembang dan sejalan dengan kepentingan lembaga partner.

d. Resource sharing

Aktivitas  partnership untuk mencapai tujuan yang didasarkan pada  kebutuhan bersama dan menggunakan sumber daya yang tersedia  dilembaga yang partisipasi.

e. Commmunity development model

Aktivitas partnership yang mengarah pada keuntungan bersama untuk  meningkatkan kondisi sosial ekonmi dan keberfihakan masyarakat yang dilayani.

f. Built –Operation and Transfer(BOT)

Usaha bersama dalam mennggunakan sumber daya yang lebih maju  dari institusi untuk keperluan dan tujuan produksi, tetapi kelak  keuntungan akan dimiliki oleh lembaga yang berpartisipasi.

Model Partnership dan Sharing Sumber Daya

Diposting oleh Lost Good Thing



Lembaga pendidikan  memiliki fungsi strategis dalam penyediaan tenaga  kerja yang kompeten di pasar kerja. Namun berdasarkan fakta di atas masih ada  gap antara kebutuhan SDM di industri dengan SDM yang dihasilkan oleh lembaga  pendidikan. Akibatnya, fungsi supply-demand antara dunia pendidikan dengan dunia  industri tidak berjalan lancar. Alur proses pendidikan yang  multyentry- multy job  placement  akan sangat sulit dicapai jika output dari proses pendidikan di Indonesia  belum mampu memenuhi standar kompetensi  yang dibutuhkan  pasar kerja


Sejak krisis ekonomi melanda, banyak perusahaan mengalami penurunan daya  saing di pasar internasional. Demikian juga di bidang pendidikan kesulitan ekonomi  menjadikan semakin terbatasnya dana pendidikan dari pemerintah. Pendidikan  bertujuan menghasilkan SDM yang kompeten dan professional namun dukungan  dana yang minim tentu sangatlah  sulit  mencapai tujuan tersebut.  Perubahan pasar dan kemajuan teknologi yang sangat cepat menempatkan  profesionalisme sumber daya manusia sebagai aset utama perusahaan. Dalam kondisi  ini pengembangan sumber daya manusia yang berkesinambungan dan selaras dengan perubahan tersebut menjadi kunci utama untuk meningkatkan profesionalisme dan  meningkatkan daya saing. Sumber daya manusia (SDM) merupakan aset yang sangat  penting dalam upaya meningkatkan daya saing dan kunci dalam memenangkan  persaingan usaha yang semakin ketat seiring dengan liberalisasi ekonomi. Kenyataan  ini menuntut  suatu program pembinaan SDM yang komprehensif dan holistik (Beny 
Sutrisno, 2001).

Menurut Hendra Suryono (2001) pada era globalisasi dan tingginya velositas menuntut pengelolaan sumber daya yang ada dengan tepat, terutama sumber daya  yang terbarukan (renewable) yaitu keterampilan dan keahlian tenaga kerja agar tetap  selaras dengan kemajuan teknologi yang sangat cepat dan perubahan pasar. Hal ini  menuntut departemen sumber daya manusia  di perusahaan untuk mampu mengelola  SDM di perusahaan dengan baik sehingga kontinuitas dan ketepatan produksi  terjamin.    Output lembaga pendidikan yang sesuai kebutuhan industri hanya akan  terwujud jika pelaksanaan pendidikan  dipacu oleh industri dan industri hanya akan  eksis jika didukung ketersediaan SDM yang berkualitas dari lembaga pendidikan. Tujuan pendidikan dan kebutuhan industri yang saling terkait ini perlu  diikat lebih  erat dengan membangun pola kemitraan (partnership) antara lembaga pendidikan dan  industri.

Dengan membangun kemitraan yang berwawasan inovasi bisnis antara dunia  industri dan lembaga pendidikan maka akan menjadi kekuatan yang besar untuk  memenangkan persaingan dipasar global. Dengan menjadikan lembaga pendidikan  sebagai mitra bisnis  maka hasil dari produk pendidikan dapat dinikmati oleh kalangan dunia usaha dan industri untuk meningkatkan profit usaha. Sebagai mitra  bisnis maka antara lembaga pendidikan dan dunia industri harus menghasilkan  produk yang berorientasi pada nilai jual (bisnis) di pasar global. Dengan dukungan  industri maka lembaga pendidikan tidak lagi menghasilkan pengangguran terdidik  seperti yang selama ini banyak disinyalir. Dengan dukungan industri lembaga  pendidikan akan menghasilkan produk-produk berkomoditas bisnis yang mampu  mendorong tumbuhnya  entrepreneurship serta inovasi bisnis  bagi industri dalam  menembus pasar global.

Jenis- Jenis Model pembelajaran yang humanistic

Diposting oleh Lost Good Thing


Model pembelajaran yang humanistic antara lain ( Darmiyati Zuchdi 2008: 27):

1. humanizing of the classroom, kelas ini dilatarbelakangi oleh kondisi sekolah  yang otoriter, tidak manusiawai, sehingga membuat peserta didik putus asa yang  akhirnya mengakhiri hidupnya alias bunuh diri. Pendidikan model ini bertempu  pada 3 hal: menyadari diri sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan  akan terus berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan  kesadaran hati dan pikiran. Perubahan ini dilakukan tidak terbatas pada sub tansi  materi saja, tetapi lebih penting pada aspek metodologis yang dipandang sangat  manusiawi.

2. active learning; model pembelajaran ini adalah bahwa belajar bukan merupakan  konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi kepada siswa karena  membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus. 

3. quantum teaching; pembelajaran yang berusaha mengubah suasana belajar yang  monoton dan membosankan kedalam suasana belajar yang meriah dan gembira  dengan memadukan potensi fisik, psikis dan emosi siswa menjadi suatu kesatuan  kekuatan yang integral.

4. the accelerated learning; merupakanpembelajaran yang dipercepat. Konsep  dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu berlangsung secara  cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang  sekilas tampak  tidak mempunyai persamaan, tampak tidak mempunyai  persamaan, misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran  fisik dan kesehatan  emosional. Namun semua unsur ini bekerja sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.


Kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai  dengan penghukuman  terutama fisik, akibat buruknya sistem dan kebijakan pendidikan  yang berlaku, dimana muatan kurikulum yang hanya mengandalkan kemampuan aspek  kognitif dan mengabaikan  pendidikan dengan kemampuan afektif, selain itu dipengaruhi  perkembanngan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat sehingga  menimbulkan sikap instant solution/ jalan pintas dan kekerasan yang dipengaruhi oleh  latar belakang social-ekonomi pelaku. Humanisasi pendidikan dapat dijadikan solusi agar  praktek kekerasan dalam pendidikan dapat berkurang bahkan dapat dihilangkan. Karena  humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi yang cerdas nalar,  cerdas emosional dan cerdas spiritual bukan menciptakan manusia yang kerdil, pasif, dan  tidak mampu menngatasi persoalan yang dihadapi. Model pembelajaran yan g humanistik antara lain: 

(1) humanizing of the classroom; 
(2) active learning; 
(3) quantum teaching;
(4) the accelerated learning.

 Diharapkan dengan adanya humanisasi pendidikan dapat  mengurangi bahkan menghilangkan praktek kekerasan di dalam lembaga pendidikan  penerapan metode pembelajaran yang humanis dan internalisasi nilai-nilai agama, moral dan budaya nasional dalam keseluruhan proses pendidikan.

Humanisasi Pendidikan

Mengingat bahwa pendidikan adalah ilmunormatif, maka fungsi institusi  pendidikan adalah menumbuh kembangkan subyek didik ke tingkat yang normatif lebih  baik, dengan cara/jalan yang baik, serta dalam konteks yang positif. Disebut subyek didik  karena peserta didik bukan  merupakan obyek yang dapat  diperlakukan semaunya  pendidik  bahkan seharusnya dipandang sebagai manusia lengkap dengan harkat  kemanusiannya.

Menurut Freire (Degeng 1999: 16), fitrah manusia sejati, adalah menjadi pelaku  atau subyek, bukan  penderita atau obyek. Panggilan,  manusia sejati adalah menjadi  pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia,  serta realitas yang menindasnya.


Dunia dan realitasnya bukan sesuatu yang ada, dengan sendirinya dan karena itu harus  diterima menurut apa,adanya  sebagai  suatu takdir atau nasib yang tak terelakkan.  Manusia harus menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya cipta,  dan itu berarti manusia  mampu memahami keberadaan dirinya. Oleh karena itu  pendidikan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri,  dan harus mampu mendekatkan manusia dengan lingkungannya. Adanya  beberapa  bentuk kekerasan dalam  pendidikan yang masih merajalela  merupakan indikator bahwa proses atau  aktivitas pendidikan kita masih jauh dari nilainilai kemanusiaan. Di sinilah  urgensi humanisasi pendidikan. Humanisasi pendidikan  merupakan upaya untuk menyiapkan generasi yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan  cerdas spiritual,  bukan menciptakan manusia yang kerdil, pasif, dan tidak mampu  mengatasi persoalan yang diahadapi.


Kekerasan Dalam Pendidikan

Kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai  dengan penghukuman  terutama fisik, akibat buruknya system dan kebijakan pendidikan  yang berlaku, dimana muatan kurikulum yang hanya mengandalkan kemampuan aspek  kognitif dan mengabaikan  pendidikan dengan kemampuan afektif, selain itu dipengaruhi  perkembanngan kehidupan masyarakat yang mengalami pergeseran cepat sehingga  menimbulkan sikap instant solution/ jalan pintas dan kekerasan yang dipengaruhi oleh  latar belakang social-ekonomi pelaku. (Nurul Zuriah, 2006: 31). Selain itu penyebab  kekerasan dalam pendidikan dapat dilihat dari kondisi pendidikan saat ini, yaitu kondisi  internal dan eksternal. Kondisi internal merupakan factor yang berpengaruh langsung  bagi perilaku para pelajar atau mahasiswa dan tenaga pendidiknya. Pada kondisi internal  sejauh  ini dijumpai kesenjangan  (discrepancy,gap) yang cukup dalam antara upaya  pemerintah dalam memajukan pendidikan (idealisas) dengan kondisi riil yang dialami dilapangan (realitas). Sedangkan kondisi eksternal adalah kondisi non pendidikan yang  merupakan factor tidak langsung menimbulkan potensi kekerasan dalam pendidikan.  Kondisi ini tampak dalam kehidupan social dan budaya masyarakat dimana pelaku  pendidikan berada didalamnya. (Suprijanto 2009: 22)  Misalnya masalah pengguna  narkoba semakin menimgkat dilakukan oleh para pelajar bahkan pornografi dan  pergaulan bebas. Semua itu menjadi masalah krusial dalam pendidikan karena kekerasan dalam pendidikan bias dipengaruhi secara tidak langsung oleh kondisi eksternal tersebut.

Tipologi kekerasan dalam pendidikan (TIM ICCE UIN 2008: 44), dapat  dibedakan menjadi 4 antara lain:

1. kekerasan terbuka yakni kekerasan yang dapat dilihat/ diamati secara  langsung. Misalnya guru mencubit atau menjewer siswanya yang tidak  mengerjakan tugas, perkelahian antar siswa.

2. kekerasan tertutup yakni kekerasan tersembunyi/ tidak dilihat secara langsung.  Misalnya mengancam/intimidasi contohnya kasus demonstran mahasiswa.

3. kekerasan agresif yakni kekerasan yang dilakukan untuk mendapatkan sesuatu, seperti merampas, pemerkosaan atau pencabulan yang sering  dilakukan oleh pengajar kepada siswa SD dan SMP

4. kekerasan defentif yakni kekerasan yang dilakukan sebagai tindakan  perlindungan.



Humanisasi Pendidikan Sebagai Solusi Kekerasan Dalam Lembaga Pendidikan

Beberapa bentuk kekerasan dalam pendidikan yang masih meraja lela  merupakan indikator bahwa proses atau aktivitas pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu humanisasi pendidikan dapat dijadikan solusi agar  praktek kekerasan dalam pendidikan dapat berkurang bahkan dapat dihilangkan. Karena  humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi yang cerdas nalar,
cerdas emosional dan cerdas spiritual bukan menciptakan manusia yang kerdil, pasif, dan  tidak mampu menngatasi persoalan yang dihadapi.


Diharapkan dengan adanya humanisasi pendidikan dapat mengurangi bahkan  menghilangkan praktek kekerasan di dalam lembaga pendidikan di Indonesia. Agar  pendidikan berjalan tanpa kekerasan tersebut maka perlu dipertimbangkan pendidikan  nilai yang efektif, penerapan metode pembelajaran yang humanis dan internalisasi nilainilai agama, moral dan budaya nasional dalam keseluruhan proses pendidikan. Untuk itu
pemahaman yang cukup untuk pendidikan yang humanis perlu diketahui oleh semua  pihak yang terlibat dalam pendidikan sebagai solusi kekerasan dalam pendidikan  tersebut.



Diharapkan dengan adanya humanisasi pendidikan dapat mengurangi bahkan  menghilangkan praktek kekerasan di dalam lembaga pendidikan di Indonesia. Agar  pendidikan berjalan tanpa kekerasan tersebut maka perlu dipertimbangkan pendidikan  nilai yang efektif, penerapan metode pembelajaran yang humanis dan internalisasi nilainilai agama, moral dan budaya nasional dalam keseluruhan proses pendidikan. Untuk itu
pemahaman yang cukup untuk pendidikan yang humanis perlu diketahui oleh semua  pihak yang terlibat dalam pendidikan sebagai solusi kekerasan dalam pendidikan tersebut.








Senin, 05 November 2012

pengertian fungsi pendidikan

Diposting oleh Lost Good Thing


Pada hakekatnya fungsi pendidikan adalah  untuk mengembangkan kemampuan serta  meningkatkan mutu kehidupan dan martabat  manusia. (Undang–Undang Nomor 20 Tahun  2003).  Siswa sebagai subjek belajar, memiliki potensi dan karakteristik unik, sangat  menentukan keberhasilan pendidikan.  Kemampuan dan kesungguhan siswa merespon  pengetahuan, nilai dan ketrampilan mempunyai  andil yang besar dalam keberhasilan belajar.

Keberhasilan belajar siswa dipengaruhi  oleh banyak hal yang sangat kompleks, yaitu  siswa, sekolah, keluarga dan lingkungan  masyarakat. Untuk menghasilkan siswa yang  berkualitas dan berprestasi, perlu adanya  optimalisasi seluruh unsur tersebut.


Tugas guru membantu siswa mencapai  tujuannya, maksudnya guru lebih banyak  berurusan dengan strategi daripada memberi  informasi, tetapi justru siswa yang aktif mencari  informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai  sebuah tim yang bekerja bersama untuk  menemukan sesuatu yang baru bagi anggota  kelas (siswa). 
Guru juga dapat mengembangkan iklim komunikasi di kelas selama pembelajaran  berlangsung. Iklim komunikasi yang dimaksud adalah adanya umpan balik interaktif antara  guru dan peserta didik. Dengan demikian, siswa akan mampu memberikan respon balik terhadap materi pembelajaran secara aktif, tidak  harus menunggu informasi dari guru.